Kembali ke Hakikat Hijrah

Oleh  H. Asmuni Syukir

Bulan ini, Muharam, adalah bulan istemewa bagi umat muslim. Betapa tidak, umat muslim bisa teringat kembali sejarah perjuangan Rasulullah Saw. berhijrah dari kepungan dan kejaran kafir Quraisy di Mekah menuju Madinah. Di Madinah inilah kemudian Rasulullah dan para sahabat (Muhajirin dari Mekah dan Anshar di Madinah) bersama-sama mulai membangun peradaban Islam. Hasilnya, sejarah telah mencatat bahwa hijrah telah menghasilkan kemuliaan dan kejayaan Islam hampir tigabelas abad lamanya.

Tetapi kini hakikat hijrah itu ditinggalkan ummat, bahkan nyaris terlupakan. Karena ummat muslim sekarang ini terpasung oleh sistem kapitalis-sekuler yang selalu tampil dengan ’aroma surgawi’, sehingga ummat di level manapun, tak pandang kyai ataupun santri, cendekiawan ataupun awam, berlabel gus ataupun guk, telah banyak yang tergiur dengannya dan keasyikan menikmatinya, sehingga penindasan sesama ummat pun tak lagi disadari sebagai bentuk kedzaliman. Islam seringkali dijadikan alat atau kendaraan bagi kepentingan (ekonomi, politik) yang sama sekali tidak terkait dengan nilai-nilai Islam. Bahkan Islam direduksi dan dirancukan dalam organisasi sosial dan politik, dipersempit menjadi ’matakuda politik’ untuk melegitimasi kepentingan pribadi dan golongan. Islam ’dimodikasi’ sebagai doktrin untuk menghipnotis dan menguatkan fanatisme, primordialisme dan eksklusivisme ummat agar mereka dengan mudah dapat ’dimanfaatkan’ untuk kepentingan pribadi dan komunitasnya. Inilah gerakan kebudayaan yang berbasis kapitalisme-sekularisme, yang kini disebut-sebut sebagai paradigma dan sistem jahiliyah moderen.

Oleh karena itulah ”kebangkitan Islam” yang selalu diwacanakan hampir setiap tahun baru hijriyah, perlu segera direalisasi, paling tidak pada diri kita masing-masing. Ibda’ bi nafsik (mulailah pada dirimu), sabda Nabi Saw. Bukankah paradigma kapitalis-sekularis itu telah mewabah di kalangan ummat muslim. Bahkan telah merasuk dalam sanubari, sehingga mengubur paradigma Islami yang seharusnya menjadi tuntunan hidup ummat muslim, yang diaktualisasikan dalam perilaku dan akhlak. Indikasinya semakin nampak pada perilaku ekonomi dan politik para elite agama yang tak lagi mengindahkan syari’ah dan akhlak Islam. Dalam hal ini, tentu saja, mereka bungkus dengan label Islam, sehingga dari kulitnya terlihat Islami. Tetapi ironisnya mereka sendiri tidak menyadari kalau perilaku (ekonomi dan politik) mereka itu berbasis pada sistem jahiliyah moderen (kapitalisme-sekularisme).

Untuk itulah perlu kita melakukan evaluasi diri. Apakah paradigma hidup kita selama ini masih terbalut keimanan yang kokoh dan disemangati nilai-nilai hijrah. Ataukah kita sudah lama meninggalkannya, sehingga penghambaan kita tidak lagi semata-mata kepada Allah Swt. tetapi lebih berat kepada manusia, harta, dan tahta. Padahal kita mengaku beriman kepada Allah Swt, mengaku sebagai pewaris para Nabi dan Rasul, mengaku telah berbuat untuk Islam dan ummat, mengaku menjadi bagian dari upaya penegakan syari’at Islam, dan sebagainya.

Ingatlah bahwa keberhasilan hijrah Rasulullah dan para sahabat dalam membangun peradaban Islam di Madinah adalah berkat kekuatan jiwa para sahabat dibalut keimanan yang kokoh demi satu tujuan, terbangunnya sistem Islam. Yaitu suatu sistem yang memiliki untuk selalu mengajak ummat manusia untuk meninggalkan penghambaan kepada manusia, harta dan tahta menuju penghambaan kepada Allah Swt. semata.

Maka kebangkitan ummat Islam untuk berhijrah sebagaimana hijrah yang dilakukan Rasulullah Saw. yakni berhijrah meninggalkan sistem dan gaya hidup jahiliyah moderen menuju sistem Islam semakin nampak urgensinya. Sebab, hijrah yang hakiki memiliki semangat heroik untuk membebaskan ummat manusia dari keterpurukan, penindasan dan kedzaliman.

Meskipun demikian harus disadari bahwa merubah sistem dan gaya hidup itu tidaklah segampang membalik telapak tangan. Tetapi perubahan itu harus disertai dengan perubahan perilaku dan akhlak setiap individu, keluarga dan masyarakat. Untuk itulah, hijrahnya ummat Islam harus dimulai dengan terbangunnya kesadaran Islami pada diri ummat. Sedang untuk membangun kesadaran Islami itu dibutuhkan kerjasama dan sinergitas seluruh komponen ummat, di samping wawasan keislaman yang luas dan mendalam.

Proses hijrah akan terhambat apabila pemahaman ummat tentang Islam masih dangkal sebagaimana kebanyakan orang saat ini, bahwa Islam disangka hanya mengurus masalah ritual saja, seperti ibadah shalat, puasa dan haji. Akibatnya, urusan politik dan pemerintahan, bisnis dan perekonomian, pendidikan dan kesehatan, kehidupan sosial dan kemasyarakatan, konsep dan pengaturannya diserahkan sepenuhnya kepada faham-faham yang berasal dari Barat, seperti kapitalisme, sosialisme, dan sekularisme, yang pada dasarnya anti Islam. Padahal Islam itu luas, mengatur seluruh aspek kehidupan. Bahkan tiada satupun dari aspek kehidupan ini yang tidak diatur Islam.

Alhasil, bahwa Islam itu adalah sistem hidup yang komprehensif, bahkan tiada satu pun sistem hidup di dunia ini yang selengkap sistem Islam. Oleh karena itulah ummat Islam yang masih mengaku beriman kepada Allah, apalagi mengaku sebagai pewaris para Nabi dan Rasul, harus segera kembali ke hakikat hijrah, yaitu berhijrah dari gaya dan sistem hidup jahiliyah moderen menuju sistem Islam. Ingatlah selalu firman Allah Swt.: ”Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh nyata bagimu” (Qs. al Baqarah, 208). ***

Jombang, 20 November 2012  ***Majelis Ta’lim & Bengkel Hati Al-Qolam***

** Artikel ini pernah dipublikasikan dalam Buletin Al-Qolam

Comment

e-Learning

Blended Learning

TASAWUF PEMBERDAYAAN

Jama'ah "Bengkel Hati" Al-Qolam, Jombang Jawa Timur