Trilogi Ajaran Illahi

Oleh  H. Asmuni Syukir

Di antara perbendaharaan kata dalam agama Islam ialah al-Islam, al-iman, dan al-ihsan, yang dalam hal ini disebut dengan “Trilogi Ajaran Illâhi”. Yaitu diilhami dari sebuah hadits shahih yang terkenal dengan sebutan hadits Jibril. Hadits ini juga memberi umat Islam ide tentang Rukun Islam yang lima, Rukun Iman yang enam, dan ajaran tentang penghayatan terhadap Tuhan Yang Maha Hadir dalam hidup.

Pemahaan terhadap ketiga kata ini (Islam, iman, ihsan) harus secara utuh. Bahkan, menurut Nurcholish Madjid, setiap pemeluk Islam harus mengetahui dengan pasti bahwa Islam tidak absah tanpa iman, dan iman tidak sempurna tanpa ihsan. Sebaliknya, ihsan mustahil tanpa iman, dan iman juga tidak mungkin tanpa inisial Islam. Dengan kalimat lain, bahwa dalam iman itu terdapat Islam dan ihsan. Begitu pula dalam Islam terdapat iman dan ihsan, dan dalam ihsan terdapat iman dan Islam. Dari sudut pemahaman inilah yang disebut Islam (agama Islam) itu adalah trilogi ajaran Ilâhi (tiga unsur: Islam, iman dan ihsan) tersebut.

Adapun hadits Jibril yang menggambarkan pengertian ketiga kata itu, menurut Ibnu Taimiyah, bahwa agama memang terdiri dari tiga unsur, yakni Islam, iman  dan  ihsan, yang dalam ketiga unsur itu terselip makna kejenjangan. Orang mulai dengan Islam, berkembang ke arah iman, dan memuncak dalam ihsan. Pendapat ini didasarkan pada Firman Allah: “Kemudian Kami wariskan Kitab Suci pada kalangan para hamba Kami yang Kami pilih, maka dari mereka ada yang masih berbuat dzalim, dari mereka ada yang tingkat pertengahan  (muqtashid), dan dari mereka ada pula yang bergegas dengan berbagai kebajikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar (Qs. Fathir, 32).

Menurut Ibn Taimiyah, orang yang menerima warisan Kitab Suci (yakni, mempercayai dengan berpegang pada ajaran-ajarannya) namun masih juga berbuat dzalim adalah orang yang baru ber-Islam (menjadi seorang muslim), suatu tingkat permulaan pelibatan diri dalam kebenaran. Ia bisa berkembang menjadi seorang yang beriman atau seorang mu’min jika ia telah terbebas dari perbuatan dzalim, meskipun perbuatan kebajikannya sedang-sedang saja. Inilah tingkat keagamaan yang lebih tinggi, yaitu mencapai tingkat menengah (muqtashid). Kemudian pada tingkatan yang lebih tinggi lagi, pelibatan diri dalam kebenaran itu membuat ia tidak saja terbebas dari perbuatan jahat atau dzalim dan berbuat baik, bahkan ia bergegas dan menjadi pelomba atau pemuka (sabiq) dalam berbagai kebajikan, dan itulah orang yang telah ber-Ihsan, mencapai tingkat seorang muhsin.

Orang yang telah mencapai tingkat muqtashid dengan imannya dan tingkat sabiq dengan ihsannya, kata Ibn Taimiyah, akan masuk surga tanpa terlebih dulu mengalami adzab. Sedangkan orang yang pelibatannya dalam kebenaran baru mencapai  tingkat ber-Islam sehingga masih sempat berbuat dzalim, ia akan masuk surga setelah terlebih dulu merasakan adzab akibat dosa-dosanya itu. Jika ia tidak bertobat tidak diampuni Allah.

Namun, dalam pemahaman awam, ada indikasi bahwa Islam adalah inisial seseorang masuk ke dalam lingkaran ajaran Ilâhi. Yaitu hanya dengan membaca syahadat seseorang telah dinyatakan sebagai pemeluk Islam (beragama Islam) dan sekaligus beriman. Padahal sesungguhnya tidaklah demikian. Sebab, al Qur’an dalam hal ini telah melukiskan dengan kasus orang-orang Arab Badui yang mengakui telah beriman tapi Nabi diperintahkan untuk mengatakan kepada mereka bahwa mereka belumlah beriman melainkan baru ber-Islam, karena mereka barulah tunduk atau menyerah kepada Nabi secara lahiriah, dan iman belum masuk ke dalam hati  mereka (QS. al Hujarat, 14).

Memang, pada saat ini, kata ”al-Islam” telah menjadi nama sebuah agama, khususnya agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. yaitu agama Islam. Tetapi secara generik, ”Islam” bukanlah sebuah kata sebagai nama jenis (proper noun). Perkataan itu, sebagai kata benda verbal yang aktif, mengandung pengertian sikap pada sesuatu, dalam hal ini sikap pasrah atau menyerahkan diri kepada Tuhan. Dan sikap itulah yang disebut sebagai sikap keagamaan yang benar dan diterima Tuhan, sebagaimana firmanNya: “Sesungguhnya agama bagi Allah ialah sikap pasrah padaNya (al-Islam) (Qs. al Imran, 19), serta firman Allah: “Dan barang siapa menganut selain al Islam (sikap pasrah kepada Allah) sebagai agama maka ia tidak akan diterima, dan di akhirat ia akan termasuk orang-orang yang merugi” (Qs. Ali Imran, 85).

Dari makna dasar al Islam inilah, gelar “Muslim” itu tidaklah dapat diperoleh hanya cukup dengan membaca syahadat, dan menjalankan empat rukum Islam lainnya, tapi masih dituntut bersikap pasrah atau menyerahkan diri dengan setulus-tulusnya kepada Allah semata. Di sinilah letak hubungan antara konsep dasar al Islam dengan al iman. Sebab, tanpa iman mustahil seseorang itu memiliki rasa percaya penuh kepada Allah seraya menyerahkan diri kepadaNya secara tulus.

Kita telah mengetahui pengertian iman secara umum, yaitu sikap percaya, dalam hal ini khususnya percaya pada masing-masing rukun iman yang enam. Namun dalam dimensinya yang lebih mendalam, iman tidak cukup hanya dengan sikap batin yang percaya atau mempercayai sesuatu belaka, tapi menuntut perwujudan lahiriah atau aktualisasi dalam tindakan nyata. Dalam pengertian inilah kita memahami sabda Nabi Saw. bahwa “orang yang berzina tidaklah beriman ketika ia berzina, dan orang yang meminum arak tidaklah beriman ketika ia meminum arak, dan orang yang mencuri tidaklah beriman ketika ia mencuri, dan seseorang tidak akan membuat teriakan menakutkan yang mengejutkan perhatian orang banyak jika memang ia beriman” (al hadits).

Berdasarkan itu, maka sesungguhnya makna iman dapat berarti sejajar dengan kebaikan atau perbuatan baik. Ini dikuatkan oleh adanya riwayat tentang orang yang bertanya kepada Nabi tentang iman, namun turun wahyu jawaban tentang kebajikan (Qs. al Baqarah 177). Adapun tentang ihsan, Nabi Saw. menjelaskan, “Ihsan ialah bahwa engkau menyembah Allah se akan-akan engkau melihat-Nya, dan kalau engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat engkau”. Maka ihsan adalah ajaran tentang penghayatan pekat akan hadirnya Tuhan dalam hidup, melalui penghayatan diri sebagai sedang menghadap dan berada di depan hadirat-Nya ketika beribadat. Jadi, ihsan adalah pendidikan atau latihan untuk mencapai sesuatu yang sesungguhnya. Karena itu, ihsan menjadi puncak tertinggi keagamaan manusia. Sebab makna ihsan lebih meliputi dari pada iman, dan karena itu pelakunya adalah lebih khusus daripada pelaku iman, sebagaimana iman lebih meliputi daripada Islam, sehingga pelaku iman lebih khusus daripada pelaku Islam. ** Wallahu a’lam.

Jombang, 30 Desember 2012 ***Majelis Ta’lim & Bengkel Hati Al-Qolam***

** Artikel ini pernah dipublikasikan dalam Buletin Al-Qolam

Comment

e-Learning

Blended Learning

TASAWUF PEMBERDAYAAN

Jama'ah "Bengkel Hati" Al-Qolam, Jombang Jawa Timur